A. PENGERTAN ASWAJA
Aswaja adalah sebuah singkatan yang umum digunakan dikalangan kaum nahdliyyin, kepanjangannya adalah ahlus sunah waljama’ah . Secara bahasa ahlus sunnah wal jamaah terdiri dari tiga kata, yaitu :Ahlun bermakna:
1. Keluarga (اَهْلُ الْبَيْت, keluarga dalam rumah tangga)
2. Pengikut (اَهْلُ السُّنَّة, pengikut sunnah)
3. Penduduk (اَهْلُ الْجَنَّةِ, penduduk surga)
As sunnah bermakna segala sesuatu yang disandarkan pada nabi muhammad saw baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan beliau.
Al jamaah bermakna segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat,
Mengenai
definisi ahlus sunnah wal jama’ah secara terminology, sebagaimana dikutip oleh Nur
Sayid Santoso Kristeva dari pendapat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani :” yang
dimaksud dengan As sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (
meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau ). Sedangkan pengertian
Al Jamaah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat
nabi Muhammad saw pada masa khulafaur rasyidin yang empat yang telah diberi
hidayah Radliyallahu anhum ajma’in” (Al Ghuyah Li Thalibi Thariq Al Haqq,
juz ii, hlm.80).[1]
hal tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh syakh Abi
Al-Fadhi bin Abdussukur bahwa ahlussunnah wal jama’ah yaitu “orang-orang
yang selalu berpedoman pada as sunnah nabi saw dan jalan para sahbatnya dalam
masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriah serta akhlaq hati.” (Al Kawakib
Al lamma’ah, hlm8-8).[2]
Pada hakekatnya,
Ahlussunnah wal Jamaah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan
dan diamalkan oleh Rasulullah saw.
bersama para sahabatnya. Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa
umatnya akan tergolong menjadi banyak sekali (73) golongan, beliau menegaskan
bahwa yang benar dan selamat dari sekian
banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah wa Jamaah. Atas pertanyaan
parasahabat, apakah as-Sunah wal Jamaah itu? beliau merumuskan dengan sabdanya:
ما
انا عليه اليوم واصحابى
Ahlussunnah Wal jama’ah
adalah sesuatu yang berpegang pada sunahku dan kesepakatan para sahabatku.
Dalam
sejarahnya teologi telah melahirkan aliran-aliran teologi
yang berbeda pula, dan dewasa ini pengakuan/klaim paham aswaja tidak hanya
digembor-gemborkan oleh kaum nahdliyyin ( golongan Nahdlatul ulama) namun berapa
aliran klasik ataupun modern (aliran baru) juga juga mengklaim bahwa mereka
juga Aswaja. Lantas manakah yang benar ? hal tersebut sering menjadi pertanyaan
baik secara langsung ataupun tidak langsung. Padahal kebenaran aswaja
seharusnya tidak hanya dipandang dari segi definisinya saja, tapi bagaimana
definisi itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep
pemahaman aswaja yang logis sebenarnya sudah terkumpul dalam konsep dasar yang saling mengaitkan antara trilogy agama
(islam, iman dan ikhsan). Konsep yang dimaksud adalah tawasuth, tasamuh,
tawazun dan ta’adul. Yang dimaksud
tawasuth (moderat) adalah sebuah pandangan yang kompherhensif yang tidak
terjebak pada hal-hal yang bersifat ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri. Yang
dimaksud tasammuh (toleransi) sebuah cara pandang dan juga sikap dalam
kehidupan bermasyarakat, beragama dan bernegara yang mana umat dapat menghargai
dan menghormati adat istiadat dan budaya manusia yang multi kultural. Sedangkan
tawazun ( simbang) disini dapat diartikan sebagai sikap yang dapat
memperhitungkan antara hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat dan
juga status sebagai makhluk Tuhan. Dan ta’adul (adil) adalh suatu sikap dimana
kaum aswaja dituntut untuk dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Maka
dari hal-hal tersebut diatas berlaku sebuah kaidah fiqh :
المحافظة على قديم
الصالح والاخذ بجديد الاصللاح (mempertahankan kebaikan-kebaikan
yang sudah ada, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Maka
sebagai paham keagamaan yang didalamnya harus terkandung prinsip-prinsip yang
ideal ( tawasut, tasammuh, tawazun dan ta’adul ) hendaknya orang ataupun
kelompok yang mengaku berpaham aswaja dapat mempelakukan budaya secara
proporsional (wajar). Tidak mudah mengkafirkan orang- ataupun kelompok yang
tidak sepaham baik itu dalam hal furu’iyyah agama islam ataupun bahkan yang tidak
seagama (non muslim).
B.
SEJARAH SINGKAT NU
Ahlussunnah wal
jama’ah adalah sebuah paham yang muncul sebagai respon atas aliran mu’tazilah
yang terkesan terlalu rasionalsehingga mengesampingkan sunnah.[3]
Sedangkan NU adalah kepanjangan dari Nahdlatul Ulama yang
secara harfiyyah berarti kebangkitan para ulama. NU lahir secara garis besar dilatarbelakangi
oleh dua factor, yaitu factor internal (dalam negeri) dan factor ekternal (luar
negeri). Adapun factor internalnya adalah penjajahan yang dilakukan oleh bangsa
belanda terhadap rakyat dibumi pertiwi, membuat rakyat Indonesia semakin
sengsara. Pemerintah colonial belanda dalam usahanya menunjang kebutuhan dalam
negeri mereka menerapkan politik kerja paksa untuk menanam tanaman ekspor
kepada para petani di Indonesia yang dikenal dengan politik tanam paksa
(1830-1870).[4]
Sedangkan factor eksternalnya adalah munculnya gerakan wahabisme di Arab Saudi
yang bergulat dengan persoalan internal umat islam yaitu reformisme paham
tauhid.[5]
Ibnu saud sebagai raja arab Saudi pada saat itu berusaha menyeragamkan sluruh
paham yang ada di dunia menjadi paham wahabi. Upaya ibnu saud sepertinya juga
mendapat respon yang positif dari organisasi-organisasi yang sudah ada di
Indonesia seperti al irsyad dan muhammadiyyah, hal tersebut terindikasi dari
tidak adanya penolakan sebagai respon atas obsesi ibnu saud tersebut. Dari dua
factor tersebutlah Nahdlatul ulama lahir karena dibutuhkan suatu wadah bagi
para ulama di Indonesia untuk membina umat islam dan juga memperjuangkan bumi nusantara dari kekejaman para penjajah, dengan
ciri khas NU yaitu berpegang pada nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jamaah dengan mengedepankan
sikap moderat, toleransi, seimbang dan adil. Dengan sejarahnya yang tidak
sebentar akhirnya Nahdlatul ulama lahir dengan mengutamakan kemaslahatan. Nahdlatul ulama adalah organisasi Islam terbesar di
Indonesia yang didirikan oleh para ulama pesantren pada 16 rajab 1344 H/ 31
januari 1926 M di Surabaya. pendirinya adalah Hadratus Syaikh KH. Hasyim As’ari,
KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syansuri, KH. Nawawie Sidogiri, KH.
Ridwan Abdullah, dan lain-lain. Tujuan dasar Nahdlatul Ulama adalah berlakunya
ajaran Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal-jamaah dan menurut salah satu
dari madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan
berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.[6] Ia
merupakan jaringan solidaritas pedesaan yang besar, terdiri dari petani,
pedagang kecil, para professional dan para pejabat keagamaan.[7] NU adalah
organisasi keagamaan yang sangat patuh dan konsisten dalam menggunakan aswaja
sebagai konsepnya. Sehingga NU tidak dapat dilepaskan dari aswaja atau boleh
kita katakana ketika menyebutkan NU sama dengan menyebutkan aswaja. Hubungan
NU dengan agama yaitu memperkuat pilar-pilar agama yang meliputi islam, iman
dan ikhsan. Sedangkan hubungan NU dengan Negara yaitu dengan menjaga empat (4)
pilar-pilar Negara yang meliputi NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan GBHN.
C.
HUBUNGAN ASWAJA
DENGAN NU
Dalam
implementasinya membina umat, NU berpegang pada prinsip-prinsip Aswaja tentang
islam iman dan ikhsan, yaitu dalam hal fiqih mengikuti salah satu dari empat
madzhab yaitu madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Dalam hal teologi
mengikuti abu hasan Al asy’ari dan abu mansyur al maturidi dan dalam bidang
tasawuf mengikuti Imam Al Ghazali Dan Imam Junaid Al Baghdadi.
Dari pemaparan
diatas kita dapat melihat bahwa antara Aswaja dengan NU adalah satu-kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan, konsep serta prinsip yang sama antara keduanya
setidaknya dapat kita lihat juga dalam beberapa contoh persoalan sebagai
berikut :
1. Bidang Aqidah
Dalam bidang
aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan
juga NU meliputi tiga hal, Yang pertama adalah aqidah uluhiyyah
(ketuhanan), yang kedua aqidah nubuwwat yaitu dengan meyakini bahwa
Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul. Yang ketiga
adalah Al ma’ad, yaitu sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada hari iamat dan setiap manusia akan mendapat
imbalan atas amal perbuatannya.
2. Bidang social plitik
Ahlussunnah Wal
Jamaah dan NU memandang Negara sebagai kewajiban fakultatif (fardlu kifayyah).
Pandangan tersebut tidak sama dengan golongan yang lain, seperti syiah yang
memiliki sebuah konsep Negara dan mewajibkan berdirinya Negara (imamah).
3. Bidang istnbath Al-Hukun (pengambilan hukum syari’ah)
Ahlussunnah Wal
Janaah dan NU menggunakan empat sumber hokum dalam pengambialn hokum syari’ah, yaitu
: Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas.
4.
Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah
menyucikan diri dari apa saja selain Allah. Ketidak terikatan kepada apapun
selain Allah SWT baik dalam proses batin ataupun bertingkah laku inilah yang
kemudian disebut dengan zuhud. Namun engertian zuhud tersebut bukan berarti
manusia hanya sibuk dengan hubungan vertical dengan Tuhannya dan meninggalkan
urusan duniawi. Ahlussunnah Wal Jamaah Nahdliyyin (NU) memandang bahwa justru
ditengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai hamba dan fungsinya
sebagai khalifah harus diwujudkan. Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia
adalah seperti mencari nafkah dan juga urusan-urusan yang lain seperti politik,
hokum, social, budaya dan lain sebagainya. Dalam tasawuf urusan-urusan tersebut
tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud. Praktek zuhud adalah didalam
batin sementara aktivitas sehari-hari tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan
segenap potensi manusia agar terwujudnya masyarakat yang baik.
PENUTUP
Aswaja
dan NU adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, seringkali kita
menyebutkan Aswaja padahal yang dimaksud adalh NU begitu juga sebaliknya. Titik
kesamaan antara Aswaja dan NU adalah pada konsep serta prinsip keduanya, konsep
Aswaja (tasammuh, tawasut, tawazun dan ta’adul) adalah juga konsep yang
konsisten menjadi pegangan NU. Sedangkan prinsip Aswaja mengenai trilogy agama
yaitu islam, iman dan ikhsan adalah juga prinsip yang menjadi nilai dasar NU
dalam membina umat demi tercapainya kemaslahatan. Namun diakhir materi ini
penulis ingin menekankan bahwa Aswaja adalah konsep sekaligus prinsip yang di
usung NU oleh para pendirinya, Syaikh Hasyim Asy‘ari dkk sebagaimana ajaran Islam yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW, Namun dalam realita dewasa ini tidak semua orang termasuk tokoh
NU sepenuhnya mengamalkan doktrin-doktrin Aswaja, contoh misal tokoh NU atau kyai
( maaf penulis tak bermaksud menyinggung) yang menggembor-gemborkan NU
juga dalam prakteknya tak sejalan dengan ajaran Aswaja, dalam hal bermasyarakat
seringkali seorang kiyai mengabaikan hubungan dengan umat (rakyat kecil),
biasanya mereka lebih mengutamakan hubungan dengan orang-orang terpandang
seperti pejabat dll, tapi hal ini tidak menjastis bahwa semua tokoh NU/kyai
semuanya begitu. Maka persoalan Aswaja hakikatnya adalah kembali pada individu
masing-masing, tidak hanya dalam teori tetapi juga prakteknya.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Kristeva,
Nur Sayyid Santoso , Sejarah Teologi Islam Dan Akar Pemikiran Ahlussunnah
Wal Jamaah,(Jogjakarta:pustaka pelajar,2014).
Nasution,
Harun, Teologi Islam,(Jakarta: UI Press, 1988).
Haidar,
M. Ali , Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia,(Ebook, Pustaka NU
Online, tt).
Pustaka NU Online, Gusdur NU Dan
Masyarakat Sipil, Ebook, tt.
[1] Nur sayyid santoso kristeva,
sejarah teologi islam dan akar pemikiran ahlussunnah wal
Jamaah,(Jogjakarta:pustaka pelajar,2014), hlm.3
[2]
Ibid…….
[3] Harun Nasution, Teologi
Islam,(Jakarta: UI Press, 1988), hlm.65
[4] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama
dan Islam di Indonesia,(Ebook, Pustaka NU Online, tt), bab III,hlm.3
[5] Ibid…..
[6] Anggaran dasra nu bab IV pasal 5
[7] Pustaka NU Online, Gusdur NU Dan
Masyarakat Sipil, Ebook, tt, Page 1.
[8] Hal ini penulis simpulkan dari
Mata kuliah Aswaja yang disampaikan oleh beliau Bpk. Ali Muin, yang juga Dekan Fakultas
Ushuluddin & Dakwah IAINU Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar