A.
PENDAHULUAN
Sebagai umat
islam tentunya tidak jarang kita mendengar ataupun membaca term Ahlu Al kitab
dalam Alqur’an, namun belum tentu kita semua paham dengan maksud dari term
tersebut, apalagi dengan konteks ayat yang tidak sama . Kata Ahlu Al Kitab di
dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antara ayat-ayat tersebut
terdapat beberapa pemahaman yang berbeda mengenai eksistensi mereka. Sementara
wacana ke arah dialog antara agama mengarah kepada bentuk pluralisme yang
menyejajarkan seluruh agama samawi yang ada, dalam hal ini Islam, Yahudi dan
Nasrani. Dalam skala yang lebih luas, definisi ahli kitab mengalami perluasan
makna, tidak hanya mereka yang memiliki kitab samawi namun juga setiap agama
yang memiliki kitab suci bisa disebut ahli kitab.
Kata ahl
dapat berarti keluarga, kerabat,pengikut, penghuni penguasa. Ahl
ar-rajul artinya adalah istrinya, ahl ad-dâr artinya
penduduk kampung, ahl al-'amr artinya penguasa, ahl
al-madzhab artinya orang-orang yang beragama dengan mazhab
tersebut, ahl al-wabar artinya penghuni kemah
(pengembara), ahl al-madar atau ahl al-hadhar artinya
orang yang sudah tinggal menetap.[1]
Sedangkan kata Kitab atau Al-Kitab
maka sudah familier di Indonesia yaitu bermakna buku, dalam makna yang lebih
khusus yaitu kitab suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ahlul
kitab adalah ahli yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain
al-Qur’an.[2]
Sedangkan Ahli Kitab menurut terminology adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni
para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci
(wahyu Allah) Di antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani.
Dlam kesempatan
kali ini saya akan berusaha menyampaikan sedikit tentang kajian tafsir mengenai
Ahlu al kitab dalam Alqura’an surat Bayyinah , karena saya belum mampu mengkaji
keseluruhan term tersebut dalam Al qur’an yang menurut Quraish Shihab terulang
sebanyak 31 kali.[3]
Karena keterbatasan saya serta untuk menghindari pembahasan yang terlalu jauh
dan menyimpang dari focus pembahasan maka saya menukil pendapat-pendapat Ibnu
Katsir tentang ahlu Al kitab dalam Al Qur’an surat Al Bayyinah, dalam kitab
Tafsir Al Qur’anu Al’adzim dan pendapat-pendapt ulama yang lain sebagai
pendukung.
B.
POKOK
PEMBAHASAN
Tafsir
term Ahlu Al Kitab Dalam Alqur’an surat
Al Bayyinah:1, dalam kitab tafsir Al Qur’an Al’adzim karya ibnu Katsir :[4]
لم
يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين منفكين حتى تأتيهم البينة
Orang-orang
kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak
akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.
Imam
Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Amar bin Abi Ammar berkata, “Aku
mendengar Abu Hibbah Al Badri, yaitu Malik bin Amr bin Tsabit Al Anshari
mengatakan : “ketika turun surat Al byyinah ayat:1 Jibril berkata, ‘Wahai
Rasulullah sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan kepadamu untuk membacakannya
kepada Ubay.’ Lalu Rasulullah mengatakan kepada Ubay ‘sesungguhnya Jibril
menyuruhku untuk membacakan surat ini kepadamu.’ Ubay bertanya, ‘ sungguhkah
aku telah disebutkan disana ya Rasulullah?’
Rasulullah menjawab ‘betul’ Kemudian Ubay menangis.
Diriwayatkan
oleh AL Hafidz Abu Musa Al Madini dan Ibnul Atsir dari jalan Zuhri dari Ismail
bin Abi Kultsum dari Mathar Al Muzanni atau Al Madanni bahwa Nabi SAW bersabda
: Sesungguhnya Allah mendengar bacaan lam yakunilladzina kafaruu dan berfirman,
‘berikanlah kabar gembira kepada hamba-Ku , demi keperkasaan-Ku, Aku tidak akan
pernah melupakanmu sesaatpun didunia maupun diakhirat nanti.
أما أهل الكتاب فهم: اليهود والنصارى،
Adapun yang dimaksud Ahlu Al kitab dalam ayat ini ( menurut Ibnu
Katsir) adalah orang-orang yahudi dan Nashrani
Ulama asal Indonesia yaitu Quraish
Shihab[5]
menjelaskan bahwa Kesan umum yang diperoleh bila Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka
isinya adalah kecaman atau gambaran negative tentang mereka. misalnya firman-Nya tentang kebencian orang
Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah [5]: 82), atau ketidakrelaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam
mengikuti mereka (QS Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang
Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS Al-Ma-idah [5]:
18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS
Al-Maidah [5]: 64), dan sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu,
maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap mereka yang
mengubah arti kata-kata atau mengubah dan menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46),
atau bahwa mereka tekun mendengar
(berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang
bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan
benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau sedih. (QS Al BAqarah[2] : 62)
Kata Nashara sama penggunaannya
dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian misalnya
surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya
dengan orang-orang Islam; dan di kali
lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah [2]: 120 yang
berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim
mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat netral: bukan
kecaman bukan pula pujian, seperti
dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan
yang adil terhadap mereka dan kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an menggunakan
Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa
kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata
Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina
Hadu.
والمشركون: عَبَدةُ الأوثان والنيران، من العرب ومن العجم.
Yang dimaksud orang musyrik adalah para penyembah berhala dan api,
baik Arab ataupun non Arab
وقال مجاهد: لم يكونوا { مُنْفَكِّينَ } يعني: منتهين حتى يتبين لهم
الحق. وكذا قال قتادة. { حَتَّى تَأْتِيَهُمُ
الْبَيِّنَةُ } أي: هذا القرآن؛ ولهذا قال تعالى: { لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى
تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ } ثم فسر البينة بقوله: { رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو
صُحُفًا مُطَهَّرَةً } يعني: محمدًا صلى الله عليه وسلم، وما يتلوه من القرآن
العظيم
Mujahid
mengatakan keadaan mereka “tidak akan meninggalkan”, yaitu tidak akn berhenti
sehingga kebenaran jelas dihadapan mereka. “sebelum datang kepada mereka bukti
yang nyata,” yaitu Al Qur’an ini. Kemudian Allah menjelaskan dengan firman
berikutnya “yaitu seorang Rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran
yang disucikan,” maksudnya adlah Muhammad dan apa yang beliau bacakan, yaitu Al
qur’an yang mulia.[6
Adapun firman
Allah yang menyinggung Ahlu al kitab pada ayat ke empat :
وما
تفرق الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءتهم البينة
Dan
tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka)
melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
Yang dimaksud dalam ayat ini adalah umat
terdahulu yang menerima kitab-kitab. Setelah hujjah ditegakkan dan keterangan
begitu jelas, merekapun terpecah dan berselisih pendapat tentang maksud yang
dikehendaki oleh ayat yang tertera dalam kitab-kitab mereka.[7]
Allah ta’ala menggambarkan orang-orang kafir ahli kitab dan orang-orang musyrik
bahwa mereka akan kekal didalam neraka. “mereka adalah seburuk-buruk makhluk.”
Dari sini tersirat bahwa seluruh ulama sepakat bahwa ahli
kitab yang terdiri dari Yahudi dan Nasrani adalah kafir. Kekafiran mereka
disebabkan keyakinan mereka yang menganggap bahwa Tuhan itu memilik anak.
Sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَقَالَتِ ٱلْيَهُودُ
عُزَيْرٌ ٱبْنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ ٱللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ
قَوْلُهُم بِأَفْوَٰهِهِمْ ۖ يُضَٰهِـُٔونَ قَوْلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن قَبْلُ
ۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan
orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah
ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?
QS At-Taubah : 30.
Dalam pandangan Islam, status Ahlul
Kitab jelas termasuk kategori kufur. Menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H) kufur
berarti pendustaan terhadap Rasulullah saw dan ajaran yang
dibawanya[8].
Abu Zahrah mengatakan bahwa mengingkari (kufur) Muhammad berarti mengingkari
syariat Allah secara keseluruhan. Ini karena, syariat yang dibawa Nabi Muhammad
merupakan pelengkap dan penutup syariat Allah.[9]
Inilah yang dimaksud oleh al-Thabary
sebagai ukuran keimanan bagi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Yakni, pembenaran
mereka terhadap kenabian Muhammad saw dan ajaran yang dibawanya.[10]
Bahkan Ibn Katsir lebih menekankan bahwa kedua kelompok tersebut jika tidak
mengikuti Muhammad saw, dan tidak meninggalkan sunnah Nabi Isa dan Kitab Injil,
maka akan binasa.
Lebih jauh dikatakan Ibn Katsir:
“(Ukuran) keimanan orang-orang Yahudi adalah jika mereka berpegang kepada
Taurat dan sunnah Nabi Musa hingga datang periode Nabi Isa. Pada periode Nabi
Isa, orang-orang yang berpegang pada Taurat dan sunnah Nabi Musa dan tak
mengikuti Nabi Isa, maka mereka akan binasa. Sementara (ukuran) keimanan
orang-orang Nasrani adalah jika berpegang kepada Injil dan syari’at Nabi Isa.
Keimanan orang tersebut dapat diterima hingga datang periode Nabi Muhammad saw.
Pada periode Nabi Muhammad saw ini, orang yang tidak mengikutinya dan tidak
meninggalkan sunnah Nabi Isa dan Kitab Injil, maka binasa[11]
Ini menunjukkan bahwa memang keadaan
manusia pada waktu itu, baik dari segi sosialnya bahkan akidahnya, benar-benar
mengkhawatirkan. Masyarakat Musyrik ‘Arab, golongan Yahudi dan Nasrani menjadikan
patung-patung, para rahib dan pendeta sebagai tuhan-tuhan. Maka, amat
sangat perlu diutus seorang Rasul untuk memurnikan akidah mereka, yakni
Muhammad SAW. Dan mereka wajib mempercayainya dan ajaran yang dibawanya.
Ini menunjukkan relevansi pernyataan
kedua ulama (al-Thabary dan Ibn Katsir) sebelumnya, bahwa ukuran keimanan
Yahudi dan Nasrani adalah dengan memeluk Islam. Perintah ini sejatinya sudah
dikabarkan oleh Kitab Suci mereka sendiri. Namun seakan mereka tidak mendengar
dan malah menyembunyikan kabar tersebut. Al-Qur’an mengabarkan pembangkangan
mereka dalam surat Alu ‘Imran: 71: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu
mencampur-adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran,
padahal kamu mengetahuinya?”
Menanggapi ayat tersebut, para
Mufassir menjelaskan bahwa Ahli Kitab menyembunyikan kabar tentang kenabian
Muhammad di dalam Kitab Suci mereka, Taurat dan Injil.[12]
Menyembunyikan kenabian Muhammad berarti menyembunyikan datangnya agama Islam.
Menurut al-Thabary, inilah yang menyebabkan mereka disebut kafir. Secara
eksplisit, Ahli Kitab diidentifikasi sebagai orang-orang kafir sebagaimana
halnya orang-orang musyrik. Dalam surat al-Bayyinah: 1
Allah berfirman, “Orang-orang kafir
dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka)
tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang
nyata.”
Istilah kufur dalam ayat tersebut,
menurut Ibn ‘Asyur, ialah orang-orang yang menentang dan menolak kerasulan
Muhammad.[13]
Kekafiran Ahli Kitab dalam ayat ini sangat jelas, sama halnya dengan kekafiran
orang musyrik, yakni sama-sama menentang dan menolak ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad saw.
Walaupun seluruh umat Islam sepakat tentang kafirnya kaum
Yahudi dan Nasrani, namun ada beberapa kelompok yang menyatakan bahwa tidak ada
dalam Al-Qur’an ayat yang secara tegas menyebutkan bahwa mereka itu kafir.
Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala :
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّٰبِـُٔونَ وَٱلنَّصَٰرَىٰ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ
ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi dan Sabiin dan Nasrani, barang
siapa beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat kebajikan, maka tidak ada
rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.’ (Q.S. Al-Ma’idah, 69)
إِنَّ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ
بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ
رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. QS Al-Baqarah : 62.
Menurut orang-orang yang mengaggap bahwa kaum
Yahudi dan Nasrani tidak kafir ayat ini jelas-jelas menunjukan bahwa ketika
mereka berbuat baik juga akan mendapatkan pahala dari sisi Allah ta’ala dan
mereka tidak bersedih hati.
Padahal para mufasirin menyebutkan bahwa ayat ini berbicara
tentang ahli kitab sebelum kedatangan nabi di mana mereka mengamalkan semua
yang ada di dalam taurat dan Injil ketika belum banyak terjadi perubahan.
C.
PENUTUP
DAN KESIMPULAN
Dari
urain diatas dapat kita ketahui bahwa Ahlu alkitab yang dimaksud dalam alqur’an
surat Al Bayyinah adalah orang – orang yahudi dan nashrani, dan mereka
tergolong orang-orang kafir, adapun golongan yang menganggap tidak semua ahlu
al kitab itu kafir, menurut hemat penulis itu hanyalah sebagai bentuk toleransi
antar umat, selama mereka tidak memusuhi orang-orang muslim dan membuat
kerusakan.
Semoga
dengan menelaah penafsiran para ulama
kita dapat bersikap lebih bijak dalam menjalani kehidupan dengan segala
bentuk pluralisme yang ada, dan mengaggap bahwa perbedaan adalah bagian dari
rahmat yang diciptakan oleh Allah bagi makhluk-Nya, demi terwujudnya kerukunan
dan perdamaian antar umat khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mundzir, Ibnu, Lisanu
Al ‘Arab, (Dar Al Ma’aarif,1119),Pdf, tt
Shihab, M. Quraish Wawasan
Al Qur’an,Pdf
Katsir,
Ibnu, Tafsir Al Qur’an Al Adzim, Pdf,
Al-Ghazali,Abu
Hamid Fayshol al-Tafriqoh Baina
al-Islam wa al-Zindiqoh, (Tanpa tempat dan penerbit, cet. I, 1992
Muhammad
Abu Zahrah, Zuhrotu al-Tafasir, jil. II, Kairo: Daar al-Fikr al-‘Araby,
tt
‘Asyur,
Ibn Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
Al-Thabary, Ibnu Jarir Tafsir
al-Thabari, Juz. 2
Diolah juga dari : http://majelispenulis.blogspot.co.id/2011/12/ahli-kitab-dalam-perspektif-al-quran.html,
pada senin 05 Oktober 2015
[1]
Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab
[2] Kbbi
of line,
[3] M.
Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, hlm. 348
[4]
Ibnu Katsir…………..,hlm.420
[5] M.
Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, hlm. 347
[6]
Ibnu Katsir………….,hlm.423
[7]
Ibid …………………….,hlm.424
[8] Abu Hamid al-Ghazali, Fayshol al-Tafriqoh Baina al-Islam
wa al-Zindiqoh, (Tanpa tempat dan penerbit, cet. I, 1992
[9]Muhammad
Abu Zahrah, Zuhrotu al-Tafasir, jil. II, Kairo: Daar al-Fikr al-‘Araby,
t.thn.
[10] Ibn Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabari, Juz. 2
[11] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. I
[12] Ibn
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jil. III
[13] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir