Minggu, 01 Mei 2016

AHLU ALKITAB DALAM AL-QUR'AN SURAT AL BAYYINAH



  A.    PENDAHULUAN
Sebagai umat islam tentunya tidak jarang kita mendengar ataupun membaca term Ahlu Al kitab dalam Alqur’an, namun belum tentu kita semua paham dengan maksud dari term tersebut, apalagi dengan konteks ayat yang tidak sama . Kata Ahlu Al Kitab di dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antara ayat-ayat tersebut terdapat beberapa pemahaman yang berbeda mengenai eksistensi mereka. Sementara wacana ke arah dialog antara agama mengarah kepada bentuk pluralisme yang menyejajarkan seluruh agama samawi yang ada, dalam hal ini Islam, Yahudi dan Nasrani. Dalam skala yang lebih luas, definisi ahli kitab mengalami perluasan makna, tidak hanya mereka yang memiliki kitab samawi namun juga setiap agama yang memiliki kitab suci bisa disebut ahli kitab.
Kata ahl   dapat berarti keluarga, kerabat,pengikut, penghuni penguasa.  Ahl ar-rajul  artinya adalah istrinya, ahl ad-dâr artinya penduduk kampung, ahl al-'amr  artinya penguasa,  ahl al-madzhab artinya orang-orang yang beragama dengan mazhab tersebut, ahl al-wabar artinya penghuni kemah (pengembara), ahl al-madar atau ahl al-hadhar artinya orang yang sudah tinggal menetap.[1] Sedangkan  kata Kitab atau Al-Kitab maka sudah familier di Indonesia yaitu bermakna buku, dalam makna yang lebih khusus yaitu kitab suci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahli yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an.[2] Sedangkan Ahli Kitab menurut terminology adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah) Di antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani.
Dlam kesempatan kali ini saya akan berusaha menyampaikan sedikit tentang kajian tafsir mengenai Ahlu al kitab dalam Alqura’an surat Bayyinah , karena saya belum mampu mengkaji keseluruhan term tersebut dalam Al qur’an yang menurut Quraish Shihab terulang sebanyak 31 kali.[3] Karena keterbatasan saya serta untuk menghindari pembahasan yang terlalu jauh dan menyimpang dari focus pembahasan maka saya menukil pendapat-pendapat Ibnu Katsir tentang ahlu Al kitab dalam Al Qur’an surat Al Bayyinah, dalam kitab Tafsir Al Qur’anu Al’adzim dan pendapat-pendapt ulama yang lain sebagai pendukung. 
  B.     POKOK PEMBAHASAN
Tafsir term  Ahlu Al Kitab Dalam Alqur’an surat Al Bayyinah:1, dalam kitab tafsir Al Qur’an Al’adzim karya ibnu Katsir :[4]
لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب والمشركين منفكين حتى تأتيهم البينة
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. 
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Amar bin Abi Ammar berkata, “Aku mendengar Abu Hibbah Al Badri, yaitu Malik bin Amr bin Tsabit Al Anshari mengatakan : “ketika turun surat Al byyinah ayat:1 Jibril berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan kepadamu untuk membacakannya kepada Ubay.’ Lalu Rasulullah mengatakan kepada Ubay ‘sesungguhnya Jibril menyuruhku untuk membacakan surat ini kepadamu.’ Ubay bertanya, ‘ sungguhkah aku telah disebutkan disana ya Rasulullah?’  Rasulullah menjawab ‘betul’ Kemudian Ubay menangis.
Diriwayatkan oleh AL Hafidz Abu Musa Al Madini dan Ibnul Atsir dari jalan Zuhri dari Ismail bin Abi Kultsum dari Mathar Al Muzanni atau Al Madanni bahwa Nabi SAW bersabda : Sesungguhnya Allah mendengar bacaan lam yakunilladzina kafaruu dan berfirman, ‘berikanlah kabar gembira kepada hamba-Ku , demi keperkasaan-Ku, Aku tidak akan pernah melupakanmu sesaatpun didunia maupun diakhirat nanti.
أما أهل الكتاب فهم: اليهود والنصارى،
Adapun yang dimaksud Ahlu Al kitab dalam ayat ini ( menurut Ibnu Katsir) adalah orang-orang yahudi dan Nashrani
Ulama asal Indonesia yaitu Quraish Shihab[5] menjelaskan bahwa Kesan umum yang diperoleh  bila Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negative tentang mereka.  misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah [5]: 82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS Al-Ma-idah [5]: 18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64), dan sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46), atau bahwa mereka tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau sedih. (QS Al BAqarah[2] : 62) 
Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian misalnya surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang  Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti
dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa
kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu.
والمشركون: عَبَدةُ الأوثان والنيران، من العرب ومن العجم.
Yang dimaksud orang musyrik adalah para penyembah berhala dan api, baik Arab ataupun non Arab

وقال مجاهد: لم يكونوا { مُنْفَكِّينَ } يعني: منتهين حتى يتبين لهم الحق. وكذا قال قتادة. { حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ } أي: هذا القرآن؛ ولهذا قال تعالى: { لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ } ثم فسر البينة بقوله: { رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً } يعني: محمدًا صلى الله عليه وسلم، وما يتلوه من القرآن العظيم 

 Mujahid mengatakan keadaan mereka “tidak akan meninggalkan”, yaitu tidak akn berhenti sehingga kebenaran jelas dihadapan mereka. “sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,” yaitu Al Qur’an ini. Kemudian Allah menjelaskan dengan firman berikutnya “yaitu seorang Rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan,” maksudnya adlah Muhammad dan apa yang beliau bacakan, yaitu Al qur’an yang mulia.[6
Adapun firman Allah yang menyinggung Ahlu al kitab pada ayat ke empat :
وما تفرق الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءتهم البينة
Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.
 Yang dimaksud dalam ayat ini adalah umat terdahulu yang menerima kitab-kitab. Setelah hujjah ditegakkan dan keterangan begitu jelas, merekapun terpecah dan berselisih pendapat tentang maksud yang dikehendaki oleh ayat yang tertera dalam kitab-kitab mereka.[7] Allah ta’ala menggambarkan orang-orang kafir ahli kitab dan orang-orang musyrik bahwa mereka akan kekal didalam neraka. “mereka adalah seburuk-buruk makhluk.”
Dari sini tersirat bahwa seluruh ulama sepakat bahwa ahli kitab yang terdiri dari Yahudi dan Nasrani adalah kafir. Kekafiran mereka disebabkan keyakinan mereka yang menganggap bahwa Tuhan itu memilik anak. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَقَالَتِ ٱلْيَهُودُ عُزَيْرٌ ٱبْنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ ٱللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَٰهِهِمْ ۖ يُضَٰهِـُٔونَ قَوْلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن قَبْلُ ۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? QS At-Taubah : 30.
Dalam pandangan Islam, status Ahlul Kitab jelas termasuk kategori kufur. Menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H) kufur berarti pendustaan terhadap Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya[8]. Abu Zahrah mengatakan bahwa mengingkari (kufur) Muhammad berarti mengingkari syariat Allah secara keseluruhan. Ini karena, syariat yang dibawa Nabi Muhammad merupakan pelengkap dan penutup syariat Allah.[9]
Inilah yang dimaksud oleh al-Thabary sebagai ukuran keimanan bagi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Yakni, pembenaran mereka terhadap kenabian Muhammad saw dan ajaran yang dibawanya.[10] Bahkan Ibn Katsir lebih menekankan bahwa kedua kelompok tersebut jika tidak mengikuti Muhammad saw, dan tidak meninggalkan sunnah Nabi Isa dan Kitab Injil, maka akan binasa. 
Lebih jauh dikatakan Ibn Katsir: “(Ukuran) keimanan orang-orang Yahudi adalah jika mereka berpegang kepada Taurat dan sunnah Nabi Musa hingga datang periode Nabi Isa. Pada periode Nabi Isa, orang-orang yang berpegang pada Taurat dan sunnah Nabi Musa dan tak mengikuti Nabi Isa, maka mereka akan binasa. Sementara (ukuran) keimanan orang-orang Nasrani adalah jika berpegang kepada Injil dan syari’at Nabi Isa. Keimanan orang tersebut dapat diterima hingga datang periode Nabi Muhammad saw. Pada periode Nabi Muhammad saw ini, orang yang tidak mengikutinya dan tidak meninggalkan sunnah Nabi Isa dan Kitab Injil, maka binasa[11]
Ini menunjukkan bahwa memang keadaan manusia pada waktu itu, baik dari segi sosialnya bahkan akidahnya, benar-benar mengkhawatirkan. Masyarakat Musyrik ‘Arab, golongan Yahudi dan Nasrani menjadikan patung-patung,  para rahib dan pendeta sebagai tuhan-tuhan. Maka, amat sangat perlu diutus seorang Rasul untuk memurnikan akidah mereka, yakni Muhammad SAW. Dan mereka wajib mempercayainya dan ajaran yang dibawanya.   
Ini menunjukkan relevansi pernyataan kedua ulama (al-Thabary dan Ibn Katsir) sebelumnya, bahwa ukuran keimanan Yahudi dan Nasrani adalah dengan memeluk Islam. Perintah ini sejatinya sudah dikabarkan oleh Kitab Suci mereka sendiri. Namun seakan mereka tidak mendengar dan malah menyembunyikan kabar tersebut. Al-Qur’an mengabarkan pembangkangan mereka dalam surat Alu ‘Imran: 71: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur-adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?”
Menanggapi ayat tersebut, para Mufassir menjelaskan bahwa Ahli Kitab menyembunyikan kabar tentang kenabian Muhammad di dalam Kitab Suci mereka, Taurat dan Injil.[12] Menyembunyikan kenabian Muhammad berarti menyembunyikan datangnya agama Islam. Menurut al-Thabary, inilah yang menyebabkan mereka disebut kafir. Secara eksplisit, Ahli Kitab diidentifikasi sebagai orang-orang kafir sebagaimana halnya orang-orang musyrik. Dalam surat al-Bayyinah: 1
Allah berfirman, “Orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” 
Istilah kufur dalam ayat tersebut, menurut Ibn ‘Asyur, ialah orang-orang yang menentang dan menolak kerasulan Muhammad.[13] Kekafiran Ahli Kitab dalam ayat ini sangat jelas, sama halnya dengan kekafiran orang musyrik, yakni sama-sama menentang dan menolak ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. 
Walaupun seluruh umat Islam sepakat tentang kafirnya kaum Yahudi dan Nasrani, namun ada beberapa kelompok yang menyatakan bahwa tidak ada dalam Al-Qur’an ayat yang secara tegas menyebutkan bahwa mereka itu kafir. Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala :
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّٰبِـُٔونَ وَٱلنَّصَٰرَىٰ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi dan Sabiin dan Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.’ (Q.S. Al-Ma’idah, 69)
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. QS Al-Baqarah : 62.
Menurut orang-orang yang mengaggap bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak kafir ayat ini jelas-jelas menunjukan bahwa ketika mereka berbuat baik juga akan mendapatkan pahala dari sisi Allah ta’ala dan mereka tidak bersedih hati. 

Padahal para mufasirin menyebutkan bahwa ayat ini berbicara tentang ahli kitab sebelum kedatangan nabi di mana mereka mengamalkan semua yang ada di dalam taurat dan Injil ketika belum banyak terjadi perubahan.

  C.     PENUTUP DAN KESIMPULAN
Dari urain diatas dapat kita ketahui bahwa Ahlu alkitab yang dimaksud dalam alqur’an surat Al Bayyinah adalah orang – orang yahudi dan nashrani, dan mereka tergolong orang-orang kafir, adapun golongan yang menganggap tidak semua ahlu al kitab itu kafir, menurut hemat penulis itu hanyalah sebagai bentuk toleransi antar umat, selama mereka tidak memusuhi orang-orang muslim dan membuat kerusakan.
Semoga dengan menelaah penafsiran para ulama  kita dapat bersikap lebih bijak dalam menjalani kehidupan dengan segala bentuk pluralisme yang ada, dan mengaggap bahwa perbedaan adalah bagian dari rahmat yang diciptakan oleh Allah bagi makhluk-Nya, demi terwujudnya kerukunan dan perdamaian antar umat khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mundzir, Ibnu, Lisanu Al ‘Arab, (Dar Al Ma’aarif,1119),Pdf, tt
Shihab, M. Quraish Wawasan Al Qur’an,Pdf
Katsir, Ibnu, Tafsir Al Qur’an Al Adzim, Pdf,
Al-Ghazali,Abu Hamid  Fayshol al-Tafriqoh Baina al-Islam wa al-Zindiqoh, (Tanpa tempat dan penerbit, cet. I, 1992
Muhammad Abu Zahrah, Zuhrotu al-Tafasir, jil. II, Kairo: Daar al-Fikr al-‘Araby, tt 
‘Asyur, Ibn  Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
Al-Thabary, Ibnu Jarir Tafsir al-Thabari, Juz. 2
Diolah juga dari : http://majelispenulis.blogspot.co.id/2011/12/ahli-kitab-dalam-perspektif-al-quran.html, pada senin 05 Oktober 2015


[1] Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab
[2] Kbbi of line,
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, hlm. 348
[4] Ibnu Katsir…………..,hlm.420
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, hlm. 347
[6] Ibnu Katsir………….,hlm.423
[7] Ibid …………………….,hlm.424
[8] Abu Hamid al-Ghazali, Fayshol al-Tafriqoh Baina al-Islam wa al-Zindiqoh, (Tanpa tempat dan penerbit, cet. I, 1992
[9]Muhammad Abu Zahrah, Zuhrotu al-Tafasir, jil. II, Kairo: Daar al-Fikr al-‘Araby, t.thn. 
[10] Ibn Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabari, Juz. 2
[11] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. I
[12] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jil. III
[13] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir

Tidak ada komentar: