I.
PENDAHULUAN
Alqur’an sebagai kitab suci yang diyakini oleh umat islam sebagai
petunjuk, harus dipelajari dan dipahami isinya. Memahami isi alqur’an serta
mendialogkannya dengan realitas berarti menafsirkannya. Hal tersebut juga
sesuai dengan keyakinan bahwa Alqu’an shalih li kulli zamam wa makan. Berbeda
dengan hakikat Alqur’an yang secara teologis kebenaran dan kesakralannya tidak diragukan,
kebenaran tafsir bersifat relative serta layak untuk dipertanyakan karena ia
merupakan hasil produksi para mufassir
yang tidak bisa lepas ruang dan
waktu. Usaha menafsirkan Alqur’an sudah banyak dilakukan oleh para ulama sejak
zaman dahulu. Sebagai manusia biasa para mufasir menghasilkan penafsiran yang
tidak lepas dari pengaruh track record ( rekam jejaknya). Seperti latar
belakang kehidupannya, lingkungan keluarga, pendidikan serta pengaruh
ideologinya. Oleh karena itu produk tafsir dari masing-masing tokoh tentunya
tidak sama.
Para mufassir kontemporer seperti Abu zaid, Fazlur Rahman, Muhammad
Syahrur dan Hasan Hanafi menegaskan bahwa Alqur’an harus terus menerus
ditafsirkan sebab tidak ada satupun yang berhak menutup kemungkinan pemaknaan
baru dalam menafsirkan Alqur’an.[1]
Pernyataan tersebut mermpertegas bahwa pintu ijtihad belum tertutup.
Apabila kita melihat secara etimologi, tafsir berarti menjelaskan,
menyingkap dan menerangkan makna-makna secara rasionalis,[2]
Sedangkan pelakunya disebut mufassir. Dari sisi kebahasaan jelas bahwa orang
yang menyingkap , menjelaskan dan menerangkan Alqr’an dapat disebut mufassir.
Yang menjadai pertanyaan selanjutnya adalah apakah dalam disiplin keilmuan
ulumul Qur’an setiap orang yang menjelaskan Al qur’an serta merta dapat disebut
sebagai mufassir ? tentu tidak. Para ulama merumuskan syarat-syarat serta adab
(etika) yang harus dipenuhi agar seseorang layak diberi gelar sebagai mufassir.
Hal tersebut tentu bukan tanpa alasan, salah satunya adalah agar tidak ada pihak-pihak yang secara
sembrono mengklaim dirinya sebagai mufassir tanpa kompetensi yang jelas.
Berangkat dari alasan sederhana diatas penulis merasa sangat penting untuk kembali
mengulas materi tentang syarat-syarat dan etika mufassir. Maka dalam pembahasan
ini penulis hanya memfokuskan pada dua sub pokok bahasan yaitu :
1.
Syurutu
al Mufassir ( Syarat-syarat Mufassir)
2.
Adabu
al Muafssir ( Etika Mufassir ).
Semoga materi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua
pihak pada umumnya.
II.
PEMBAHASAN
A.
SYURUTU
ALMUFASSIR ( SYARAT-SYARAT MUFASSIR )
Para ulama terdahulu merumuskan
syarat-syarat agar mufassir terhindar dari penyimpangan dalam menafsirkan
alqur’an. Salah satunya adalah syaikh manna’ alqaththan, menurutnya kajian
ilmiah yang objektif merupakan dasar ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang benar dan
dapat memberikan manfaat bagi para penuntutnya, oleh karena itu tersedianya
sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan suatu nilai
khusus bagi kematangan kajiannya. Kajian ilmu-ilmu syariat pada umumnya, ilmu
tafsir pada khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan sejumlah
syarat dan etika demi menjernihkan sumber dan memelihara keindahan wahyu dan
keagungannya. Ada beberapa syarat bagi mufassir
sebagaimana disebutkan oleh manna’ alwaththan adalah sebagai berikut : [3]
1.
Aqidah
yang benar, sebab aqidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya,
dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash tidak jujur dalam
penyampaian berita. Apabila seseorang
menyusun sebuah kitab tafsir maka di ta’wilkannya ayat-ayat yang bertentangan
dengan akidahnya, kemudian menggiringnya pada madzhabnya yang batil, guna
memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2.
Bersih
dari hawa nafsu, hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan
madzhabnya, sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan
menarik seperti dilakukan golongan qadariyyah, mu’tazilah dan para pendykung
madzhab fanatic sejenis lainnya.
3.
Menafsirkan
lebih dahulu Alqur’an dengan Alqura’an, karena sesuatu yang masih global pada
satu tempat telah diperinci ditempat lain, dan sesuatu yang dikemukakan secara
ringkas disuatu tempat telah diuraikan ditempat yang lain.
4.
Mencari
penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Alqur’an dan
penjelasannya. Alqura’an telah menegaskan bahwa semua ketetapan hokum
Rasulullah barasal dari Allah, “sesungguhnya kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengasili diantara manusia dengan
apa yang Allah wahyukan kepadamu”. (QS. An Nisa :105). Allah menyebutkan bahwa
sunnah merupakan penjelas bagi kitab. “dan kami turunkan kepadamu Addzikr
(Alqur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Qs An Nahl: 44). Rasulullah dalam
sabdanya : ”ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Alqur’an dan bersmanya
pula sesuatu yang serupa dengannya, yakni sunnah. Berkenaan dengan hal ini As
Syafi’I berkata “segala sesuatu ynag diputuskan Rasulullah adalah hasil
pemahamannya terhadap Alqur’an.” Contoh
contoh penafsiran Alqur’an dengan sunnah ini sukkup banyak jumlahnya. Penulis
Al itqan telah mendokumentasikan secara tertib bersama surat-surat yang
ditafsirkannya dalam pasal terakhir kitanmya. Misalnya penafsiran As sabil
dengan Az zad wa ar rahilah (bekal dan kendaraan), az zhulm (kedzaliman )
dengan as syirk ( kemusyrikan )dan al hisan al yasr (hisab yang ringan) dengan
al ardh.
5.
Pendapat para shabat, hal ini dilakukan
apabila tidak ditemukan penafsiran dalam sunnah .karena para shabta lebih
mengetahui tentang tafsir Alqur’an, merekalah yang terlibat dalam kondisi ketika Alqur’an diturunkan,
disamping mereka mempunayai pemahaman yang sempurna , ilmu yang shahih dan amal
yang shalih.
6.
Pendapat
para tabi’in, hal ini dilakukan apabila tidak ditemukan penafssiran dalam
alqu’an , sunnah danpendapat para sahabat. Sebagian bear ulama merujuk kepada
para tabi’in seperti Mujahid bin Jabr,sa’id
bin Jubair , ‘ikrimah Maula ibn Abbas
dan lainnya. Diantara tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari
sahabat, tetapi tak jarang merks jugs berbicsrs tentsng tsfsir dengan istinbsth
dsn idtidlsn (penalaran dalil)nya sendiri. Tetapi yang harus dipegangi adalah
penukilan yang shahih.
7.
Pengetahuan
bahasa Arab yang baikm karena Alqu’an diturunkan dalam bahasa Arab . pemahamn
yang baik terhadap Alqur’an sangat tergantung pada penguraian mufradat,
lafadz-lafadz dan pengertian-pengertian yang ditunjukannya sesuai dengan
struktur kalimat.
8.
Pengetahuan
tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Alqur’an , seperti ilmu
qiraat, sebab dengan ilmu qiraat dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan
(lafadz-lafadz) Alqur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat diantara
berbagai ragam bacaan yang diperkenankan. Ilmu lainnya adalah ilmu tauhid dan
ilmu ushul tafsir, ulumul qur’an dan lainnya.
9.
Pemahaman
yang cermat, sehingga mufassir dapat mengukuhkan suatu makna yang lain atau
menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari’at.
Tidak jauh berbeda dengan manna’ Al qaththan ,
As suyuthi juga merumuskan syarat-syarat etis dan akademis agar seorang
mufassir terhindar dari penyimpangan dalam menafsirkan Alqur’an. Syarat-syarat
tersebut adalah :[4]
1.
Syarat
etis : memiliki keyakinan yang benar terhadap Alqur’an, tidak meragukan
kebenaran Alqur’an sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, dan tidak
boleh memaksakan prakonsepsi-prakonsepsi yang dilandasi oleh kepentingan hawa
nafsu.
2.
Syarat
akademis : memiliki kemampuan yang menyangkut metodologi dan perangkat keilmuan
tafsir, seperti bhasa Arab, ilmu Asbabu An Nuzul, nasikh-mansukh, munasabat dan
kaidah-kaidah penafsiran.
Amin Abdullah
menambahkan bahwa di era kontemporer sekarang ini, seorang mufasir selain harus
menguasai khazanah keilmuan klasik, ia juga harus memiliki wawasan keilmuan
modern, seperti ilmu ilmu social , numaniora dan eksakta. Sebab kajian Alqur’an
diera kontemporer tidak bisa dipisahkan dari keilmuan tersebut.[5]
B.
ADABU
ALMUFASSIR ( ETIKA BAGI MUFASSIR )
Dewasa ini hal hal yang harus dipenuhi agar seseorag tidak terjebak
dalam sifat apologis, memaksakan gagasan – gagasan yang ekstra qur’ani serta
menolak mentah mentah terhadap penafsiran saintifik adalah dengan bersikap
tawasuth (moderat) serta berpegang pada kebenaran kebenaran ilmiah yang sudah
mapan bukan pada teori yang bersifat asumtif dan prediktif. Scara garis besar
etika mufassir menurut manna’ Alqaththan,[6]
adalah sebagai berikut :
1.
Berniat
baik dan bertujuan benar, sebab setiap amal perbuatan itu tergantung pada
niatnya, orang yng berkecimpung dalam ilmu-ilmu syariat hendaknya mempunyai
tujuan dan tekad membangun kemaslahatan umum, berbuat baik kepada islam dan
membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya
dan menjadikan ilmunya bermanfaat sebagai buah keikhlasannya.
2.
Berakhlak
mulia, karena mufassir bagai sang pendidik. Pendidiksn ysng diberiksn itu tidak
akan berpengaruh kedalm jiwa, jika ia tidak menjadi panutan dengan akhlak dan
perbuatan yang mulia. Kata-kata yang kurang baik kadang menyebabkan siswa
enggan memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan terkadang
dapat mematahkan jaln pikirannya.
3.
Taat
dan beramal, ilmu akan dapat diperoleh melalui orang yang mengamalkannya dari
pada yang hanya hebat dalam teori dan konsep. Dan perilaku mulia akan
menjadikan mufassir sebagai panutan yang baik bagi pengamalan masalh-masalah
agama yang ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari
orang yang luas pengetahuannya hanya karena orang tersebut berperilaku buruk
dan tidak mengamalkan ilmunya.
4.
Jujur
dan teliti dalm penukilan, Ia tidak berbicara dan menulis kecuali setelah
menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia akan terhindar dari
kesalahan dan kekeliruan.
5.
Tawadlu’
dan lemah lembut, karena kesombongan olmiah merupakan satu dinding kokoh yang
dapat menghalangi antara orang ali dengan kemanfaatan ilmunya.
6.
Berjiwa
mulia, seorang yang alim hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh,
serta tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan dan kekuasaan bagai
pengemis yang buta.
7.
Berani
dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang hak dihadapak penguasa yang dzalim.
8.
Berpenampilan
simpatik, hal tersebut dapat menjadikannya berwibawa dan terhormat dalam semua
penampilannya secaraumum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan, namun
hendaknya sikap ini dengan tidak dipaksa-paksakan,
9.
Bersikap
tenang dan mantap, tidak terburu-buru, mantap dan jelas dalam berkata.
10. Mendahulukan orang yang lebih utama darinya, dan
11. Siap serta metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran.
III.
PENUTUP
Para ulama merumuskan syarat-syarat serta etika yang harus di
penuhi oleh para mufassir agar mereka terhindar dari penyimpangan-penyimpangan
dalam menafsirkan Al Qur’an. Serta memberikan batasan, tolok ukur serta
klasifikasi yang jelas siapa saja yang sejatinya disebut mufassir. Dengan
demikian produk penafsiran mereka akan dapat dipertimbangkan dan diterima
dikalangan umat islam. Kebenaran tafsir yang bersifat relative tentu “track
record” penafsirnya menjadi sorotan dalam ranah studi islam khususnya yang
berkaitan dengan tasir. Meskipun apa yang tercantum dalam makalah ini bukanlah
batasan yang final atau syarat dan adab
mufassir yang mutlak terbatas pada point-point diatas karena begitu
banyaknya etika (tata krama) yang yang umumnya dimiliki oleh manusia, teteapi
setidaknya itulah garis besar yang menjadi pondasi fundamental bagi para
mufassir. Dan akhirnya semoga makalah ringkas ini bermanfaat bagi semua pihak
dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Wallahu a’lam bis Shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Mstaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKis,
2010.
Alqaththan, Manna’ Mabahist Fi Ulumi Alqur’an, tp.tt
As Suyuthi, Jalaluddin Abdur Rahman, Al Itqan Fi Ulumi Al Qur’an,
Juz 1, (Beirut: Dar Al Fikr,tt).
[1]
Abdul Mstaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKis, 2010,hlm.25.
[2]
Manna’ Alqaththan, Mabahist Fi Ulumil Alqur’an,
[3]
Manna’ Alqaththan, Mabahist FI Ulumi Alqur’an,hlm.321.
[4]
Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuthim Al Itqan Fi Ulumi Al Qur’an, Juz 1,
(Beirut: Dar Al Fikr,tt), hlm 292.
[5]
Lihat: op cit…..Abdul Mustaqim, hlm.153.
[6] Op
cit….Manna’ Alqaththan, hlm.323.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar