Kamis, 04 Januari 2018

SYARAT-SYARAT DAN ADAB MUFASSIR ( Syuruutu Al Mufassir Wa Adaabuhu )



I.                   PENDAHULUAN
Alqur’an sebagai kitab suci yang diyakini oleh umat islam sebagai petunjuk, harus dipelajari dan dipahami isinya. Memahami isi alqur’an serta mendialogkannya dengan realitas berarti menafsirkannya. Hal tersebut juga sesuai dengan keyakinan bahwa Alqu’an shalih li kulli zamam wa makan. Berbeda dengan hakikat Alqur’an yang secara teologis  kebenaran dan kesakralannya tidak diragukan, kebenaran tafsir bersifat relative serta layak untuk dipertanyakan karena ia merupakan hasil produksi para mufassir  yang tidak bisa lepas  ruang dan waktu. Usaha menafsirkan Alqur’an sudah banyak dilakukan oleh para ulama sejak zaman dahulu. Sebagai manusia biasa para mufasir menghasilkan penafsiran yang tidak lepas dari pengaruh track record ( rekam jejaknya). Seperti latar belakang kehidupannya, lingkungan keluarga, pendidikan serta pengaruh ideologinya. Oleh karena itu produk tafsir dari masing-masing tokoh tentunya tidak sama.
Para mufassir kontemporer seperti Abu zaid, Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur dan Hasan Hanafi menegaskan bahwa Alqur’an harus terus menerus ditafsirkan sebab tidak ada satupun yang berhak menutup kemungkinan pemaknaan baru dalam menafsirkan Alqur’an.[1] Pernyataan tersebut mermpertegas bahwa pintu ijtihad belum tertutup.
Apabila kita melihat secara etimologi, tafsir berarti menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna secara rasionalis,[2] Sedangkan pelakunya disebut mufassir. Dari sisi kebahasaan jelas bahwa orang yang menyingkap , menjelaskan dan menerangkan Alqr’an dapat disebut mufassir. Yang menjadai pertanyaan selanjutnya adalah apakah dalam disiplin keilmuan ulumul Qur’an setiap orang yang menjelaskan Al qur’an serta merta dapat disebut sebagai mufassir ? tentu tidak. Para ulama merumuskan syarat-syarat serta adab (etika) yang harus dipenuhi agar seseorang layak diberi gelar sebagai mufassir. Hal tersebut tentu bukan tanpa alasan, salah satunya adalah  agar tidak ada pihak-pihak yang secara sembrono mengklaim dirinya sebagai mufassir tanpa kompetensi yang jelas.
Berangkat dari alasan sederhana diatas  penulis merasa sangat penting untuk kembali mengulas materi tentang syarat-syarat dan etika mufassir. Maka dalam pembahasan ini penulis hanya memfokuskan pada dua sub pokok bahasan yaitu :
1.      Syurutu al Mufassir ( Syarat-syarat Mufassir)
2.      Adabu al Muafssir ( Etika Mufassir ).
Semoga materi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pihak pada umumnya.

II.                PEMBAHASAN
A.    SYURUTU ALMUFASSIR ( SYARAT-SYARAT MUFASSIR )
Para ulama terdahulu merumuskan syarat-syarat agar mufassir terhindar dari penyimpangan dalam menafsirkan alqur’an. Salah satunya adalah syaikh manna’ alqaththan, menurutnya kajian ilmiah yang objektif merupakan dasar ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang benar dan dapat memberikan manfaat bagi para penuntutnya, oleh karena itu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan suatu nilai khusus bagi kematangan kajiannya. Kajian ilmu-ilmu syariat pada umumnya, ilmu tafsir pada khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan sejumlah syarat dan etika demi menjernihkan sumber dan memelihara keindahan wahyu dan keagungannya. Ada beberapa syarat bagi mufassir  sebagaimana disebutkan oleh manna’ alwaththan adalah sebagai berikut : [3]
1.      Aqidah yang benar, sebab aqidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash tidak jujur dalam penyampaian berita.  Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir maka di ta’wilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya pada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2.      Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan madzhabnya, sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik seperti dilakukan golongan qadariyyah, mu’tazilah dan para pendykung madzhab fanatic sejenis lainnya.
3.      Menafsirkan lebih dahulu Alqur’an dengan Alqura’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci ditempat lain, dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas disuatu tempat telah diuraikan ditempat yang lain.
4.      Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Alqur’an dan penjelasannya. Alqura’an telah menegaskan bahwa semua ketetapan hokum Rasulullah barasal dari Allah, “sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengasili diantara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu”. (QS. An Nisa :105). Allah menyebutkan bahwa sunnah merupakan penjelas bagi kitab. “dan kami turunkan kepadamu Addzikr (Alqur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Qs An Nahl: 44). Rasulullah dalam sabdanya : ”ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Alqur’an dan bersmanya pula sesuatu yang serupa dengannya, yakni sunnah. Berkenaan dengan hal ini As Syafi’I berkata “segala sesuatu ynag diputuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap  Alqur’an.” Contoh contoh penafsiran Alqur’an dengan sunnah ini sukkup banyak jumlahnya. Penulis Al itqan telah mendokumentasikan secara tertib bersama surat-surat yang ditafsirkannya dalam pasal terakhir kitanmya. Misalnya penafsiran As sabil dengan Az zad wa ar rahilah (bekal dan kendaraan), az zhulm (kedzaliman ) dengan as syirk ( kemusyrikan )dan al hisan al yasr (hisab yang ringan) dengan al ardh.
5.       Pendapat para shabat, hal ini dilakukan apabila tidak ditemukan penafsiran dalam sunnah .karena para shabta lebih mengetahui tentang tafsir Alqur’an, merekalah yang terlibat  dalam kondisi ketika Alqur’an diturunkan, disamping mereka mempunayai pemahaman yang sempurna , ilmu yang shahih dan amal yang shalih.
6.      Pendapat para tabi’in, hal ini dilakukan apabila tidak ditemukan penafssiran dalam alqu’an , sunnah danpendapat para sahabat. Sebagian bear ulama merujuk kepada para tabi’in seperti  Mujahid bin Jabr,sa’id bin Jubair , ‘ikrimah Maula ibn Abbas  dan lainnya. Diantara tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, tetapi tak jarang merks jugs berbicsrs tentsng tsfsir dengan istinbsth dsn idtidlsn (penalaran dalil)nya sendiri. Tetapi yang harus dipegangi adalah penukilan yang shahih.
7.      Pengetahuan bahasa Arab yang baikm karena Alqu’an diturunkan dalam bahasa Arab . pemahamn yang baik terhadap Alqur’an sangat tergantung pada penguraian mufradat, lafadz-lafadz dan pengertian-pengertian yang ditunjukannya sesuai dengan struktur kalimat.
8.      Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Alqur’an , seperti ilmu qiraat, sebab dengan ilmu qiraat dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafadz-lafadz) Alqur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat diantara berbagai ragam bacaan yang diperkenankan. Ilmu lainnya adalah ilmu tauhid dan ilmu ushul tafsir, ulumul qur’an dan lainnya.
9.      Pemahaman yang cermat, sehingga mufassir dapat mengukuhkan suatu makna yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari’at.
 Tidak jauh berbeda dengan manna’ Al qaththan , As suyuthi juga merumuskan syarat-syarat etis dan akademis agar seorang mufassir terhindar dari penyimpangan dalam menafsirkan Alqur’an. Syarat-syarat tersebut adalah :[4]
1.      Syarat etis : memiliki keyakinan yang benar terhadap Alqur’an, tidak meragukan kebenaran Alqur’an sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, dan tidak boleh memaksakan prakonsepsi-prakonsepsi yang dilandasi oleh kepentingan hawa nafsu.
2.      Syarat akademis : memiliki kemampuan yang menyangkut metodologi dan perangkat keilmuan tafsir, seperti bhasa Arab, ilmu Asbabu An Nuzul, nasikh-mansukh, munasabat dan kaidah-kaidah penafsiran.
Amin Abdullah menambahkan bahwa di era kontemporer sekarang ini, seorang mufasir selain harus menguasai khazanah keilmuan klasik, ia juga harus memiliki wawasan keilmuan modern, seperti ilmu ilmu social , numaniora dan eksakta. Sebab kajian Alqur’an diera kontemporer tidak bisa dipisahkan dari keilmuan tersebut.[5]
B.     ADABU ALMUFASSIR ( ETIKA BAGI MUFASSIR )
Dewasa ini hal hal yang harus dipenuhi agar seseorag tidak terjebak dalam sifat apologis, memaksakan gagasan – gagasan yang ekstra qur’ani serta menolak mentah mentah terhadap penafsiran saintifik adalah dengan bersikap tawasuth (moderat) serta berpegang pada kebenaran kebenaran ilmiah yang sudah mapan bukan pada teori yang bersifat asumtif dan prediktif. Scara garis besar etika mufassir menurut manna’ Alqaththan,[6] adalah sebagai berikut :
1.      Berniat baik dan bertujuan benar, sebab setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, orang yng berkecimpung dalam ilmu-ilmu syariat hendaknya mempunyai tujuan dan tekad membangun kemaslahatan umum, berbuat baik kepada islam dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan menjadikan ilmunya bermanfaat sebagai buah keikhlasannya.
2.      Berakhlak mulia, karena mufassir bagai sang pendidik. Pendidiksn ysng diberiksn itu tidak akan berpengaruh kedalm jiwa, jika ia tidak menjadi panutan dengan akhlak dan perbuatan yang mulia. Kata-kata yang kurang baik kadang menyebabkan siswa enggan memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan terkadang dapat mematahkan jaln pikirannya.
3.      Taat dan beramal, ilmu akan dapat diperoleh melalui orang yang mengamalkannya dari pada yang hanya hebat dalam teori dan konsep. Dan perilaku mulia akan menjadikan mufassir sebagai panutan yang baik bagi pengamalan masalh-masalah agama yang ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang luas pengetahuannya hanya karena orang tersebut berperilaku buruk dan tidak mengamalkan ilmunya.
4.      Jujur dan teliti dalm penukilan, Ia tidak berbicara dan menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
5.      Tawadlu’ dan lemah lembut, karena kesombongan olmiah merupakan satu dinding kokoh yang dapat menghalangi antara orang ali dengan kemanfaatan ilmunya.
6.      Berjiwa mulia, seorang yang alim hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh, serta tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan dan kekuasaan bagai pengemis yang buta.
7.      Berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang hak dihadapak penguasa yang dzalim.
8.      Berpenampilan simpatik, hal tersebut dapat menjadikannya berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secaraumum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan, namun hendaknya sikap ini dengan tidak dipaksa-paksakan,
9.      Bersikap tenang dan mantap, tidak terburu-buru, mantap dan jelas dalam berkata.
10.  Mendahulukan orang yang lebih utama darinya, dan
11.  Siap serta metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran.

III.             PENUTUP
Para ulama merumuskan syarat-syarat serta etika yang harus di penuhi oleh para mufassir agar mereka terhindar dari penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan Al Qur’an. Serta memberikan batasan, tolok ukur serta klasifikasi yang jelas siapa saja yang sejatinya disebut mufassir. Dengan demikian produk penafsiran mereka akan dapat dipertimbangkan dan diterima dikalangan umat islam. Kebenaran tafsir yang bersifat relative tentu “track record” penafsirnya menjadi sorotan dalam ranah studi islam khususnya yang berkaitan dengan tasir. Meskipun apa yang tercantum dalam makalah ini bukanlah batasan yang final atau syarat dan adab  mufassir yang mutlak terbatas pada point-point diatas karena begitu banyaknya etika (tata krama) yang yang umumnya dimiliki oleh manusia, teteapi setidaknya itulah garis besar yang menjadi pondasi fundamental bagi para mufassir. Dan akhirnya semoga makalah ringkas ini bermanfaat bagi semua pihak dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Wallahu a’lam bis Shawab.


DAFTAR PUSTAKA
Mstaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKis, 2010.
Alqaththan, Manna’ Mabahist Fi Ulumi Alqur’an, tp.tt
As Suyuthi, Jalaluddin Abdur Rahman, Al Itqan Fi Ulumi Al Qur’an, Juz 1, (Beirut: Dar Al Fikr,tt).


[1] Abdul Mstaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKis, 2010,hlm.25.
[2] Manna’ Alqaththan, Mabahist Fi Ulumil Alqur’an,
[3] Manna’ Alqaththan, Mabahist FI Ulumi Alqur’an,hlm.321.
[4] Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuthim Al Itqan Fi Ulumi Al Qur’an, Juz 1, (Beirut: Dar Al Fikr,tt), hlm 292.
[5] Lihat: op cit…..Abdul Mustaqim, hlm.153.
[6] Op cit….Manna’ Alqaththan, hlm.323.

Tidak ada komentar: